Friday, December 26, 2014

Degung: The Sundanese music dance ensemble

Sundanese dances is a dance tradition that is a part of ritual, artistic expression as well as entertainment and social conduct among the Sundanese people of West Java, Indonesia. Sundanese dance is usually cheerful, dynamic and expressive, with flowing movements in-sync with the beat of kendang accompanied with Gamelan degung music ensemble.

In Sundanese culture the term ngibing means "to dance", but it is indeed performed in particular Sundanese style, usually performed between male and female couple. In West Java, all it takes is a woman’s voice and a drum beat to make a man get up and dance. Every men there breach ordinary standards of decorum and succumb to the rhythm at village ceremonies or weddings. The music the men dance to varies from traditional gong degung ensembles to the contemporary pop known as dangdut, but they consistently dance with great enthusiasm. Henry Spiller in "Erotic Triangles" draws on decades of ethnographic research to explore the reasons behind this phenomenon, arguing that Sundanese men use dance to explore and enact contradictions in their gender identities. Framing the three crucial elements of Sundanese dance—the female entertainer, the drumming, and men’s sense of freedom—as a triangle.[1]

Among Sundanese dances perhaps Jaipongan is the most popular styles and form. Jaipongan dance could be performed solo by a female dancer, in group of female dancers, as couple between professional female and male dancers, or as couple when professional female dancers invite male audience to dance with them. Other Sundanese dances include Topeng Sunda, Kandagan, Merak, Sisingaan, and Badawang dances. The Merak dance (peafowl dance) is a dance performed by female dancers inspired by the movements of a peafowl and its feathers blended with the classical movements of Sundanese dance, it symbolises the beauty of nature. Some dances might incorporated Pencak Silat Sundanese style movements. Because Sundanese culture are commonly developed among rice farming villages in mountainous Priangan, some dance rituals such as Buyung dance are involved in Seren Taun rice harvest festival, accompanied with angklung music. Rampak kendang on the other hand are actually synchronized kendang performances involving some coordinated dance movements. The Sundanese style of Reog dance is different than those of East Javanese Reog Ponorogo. The Reog Sunda performance combines comedy, joke, music, and funny comical movements and dances of the performers.[2]

Unlike its Javanese counterpart, there is no clear distinction based on social hierarchy between court dances and the commoners' dances in Sundanese tradition. Most of Sundanese dance traditions and its culture are developed by common people in villages, the fact partly contributed to Sundanese history; the absence of Sundanese court culture (keraton) since the fall of Sunda Pajajaran kingdom in the late 16th century. Sundanese people however are familiar with aristocratic culture of the menak (nobles) in Priangan region, especially in Cianjur, Bandung, Sumedang and Ciamis. The musical art such as Kacapi suling demonstrate the subtlety of aristocratic Sundanese arts.

In the 17th century the Sundanese Priangan region was held under Javanese Mataram kingdom, as the result the Sundanese culture were exposed to Kejawen (Javanese culture) influences, such as wayang and Javanese dance styles. Wayang Golek although performed in Sundanese language, style and themes, it bears the same frame of references with Javanese Wayang Kulit tradition, that often took episodes from Ramayana or Mahabharata. The courtly Sundanese dances were developed by Sundanese nobles such as Keurseus dance, Badaya Sunda, Sarimpi Kasumedangan, Ratu Graeni, Dewi and Wayang Orang dance in Sundanese Sandiwara style, all demonstrate the influences of Javanese Mataram courtly culture.

Monday, December 22, 2014

Gema Gamelan di Amerika Serikat

Keindahan dan suara merdu gamelan tradisional Indonesia yang dipertunjukan di kancah internasional, sering kali mengundang decak kagum dari para penontonnya. Inilah yang selalu terjadi ketika alunan gamelan terdengar di berbagai festival kebudayaan di Amerika.

Gamelatron, proyek ciptaan senimas AS, Aaron Taylor Kuffner (foto/dok: Aaron Taylor Kuffner)“Suara gamelan sangat menarik,” ujar Fransiska, salah satu penonton asal Jerman di acara festival musik "Performing Indonesia" yang pernah diadakan di bilangan Smithsonian, Washington, D.C. Fransiska sendiri adalah anggota dari kelompok Cornell Gamelan Ensemble di Ithaca, New York. 
Penonton kembali dibuat terpesona ketika melihat banyak warga Amerika yang dengan bangga juga ikut tampil dan memainkan gamelan sambil mengenakan pakaian tradisional Indonesia.

Terlepas dari pertunjukan, alunan gamelan yang lembut juga telah berhasil menarik perhatian sutradara film Hollywood, Peter Jackson, untuk mengikutsertakan instrumen gamelan dari kelompok gamelan Padhang Moncar di Selandia Baru sebagai bagian dari ilustrasi musik film the Hobbit: the Desolation of Smaug.

Sebenarnya apa yang membuat gamelan menjadi semakin populer keberadaannya di Amerika?

Gamelan dan Dunia Akademik AS
Emiko Saraswati Susilo, Direktur dan Guest Dance Director kelompok Gamelan Sekar Jaya di Berkeley
 
Semua ini berawal pada tahun 1958, ketika ahli musik asal Amerika, mendiang Mantle Hood, membuat program musik gamelan Jawa dan Bali di University of California at Los Angeles (UCLA), setelah sebelumnya mempelajari gamelan di Indonesia. Tidak lama setelah itu, Mantle Hood yang juga adalah pendiri dari Institut Etnomusikologi di UCLA mengundang beberapa pengajar gamelan dari Indonesia, salah satunya Hardja Susilo dari Yogyakarta yang sekarang menjadi guru gamelan di Hawaii.

“Banyak orang etnomusikologi yang tertarik dengan gamelan Jawa, Bali, dan dengan budaya Indonesia. Jadi ada banyak hubungan dengan dunia akademik juga. Jadi banyak gamelan yang dimiliki oleh universitas-universitas di Amerika Serikat,” cerita Emiko Saraswati Susilo (41), puteri dari Hardja Susilo yang juga adalah Direktur dan Guest Dance Director dari kelompok Gamelan Sekar Jaya di Berkeley, California, kepada VOA Washington, D.C. baru-baru ini.
Sejak itu berbagai universitas di AS, seperti Wesleyan, University of California, Berkeley, Cornell, Yale, dan Harvard mulai mengikuti jejak UCLA dengan mengadakan kelas gamelan di kampusnya. Kepemilikan instrumen gamelan di kampus juga dipandang sebagai suatu hal yang prestisius. “Gamelan menjadi satu tanda atau simbol eksklusif,” kata Andrew Clay McGraw (39), dosen jurusan Etnomusikologi di University of Richmond, Virginia, di mana tersedia mata kuliah gamelan yang juga diajarnya.

Para mahasiswa dari berbagai jurusan yang mengambil kelas gamelan rata-rata adalah orang Amerika yang jatuh cinta seketika setelah mendengar suara alunan gamelan.
“Kalau orang Amerika melihat gamelan itu cool sekali dan ini baru sekali untuk dia, walaupun di Indonesia sudah 1000 tahun ada gamelan, sampai anak-anak sekarang sudah bosan, tapi bagi orang Amerika ini adalah sesuatu yang baru,” lanjut Andrew yang juga adalah pendiri dari kelompok gamelan Bali, Raga kusuma, di Richmond, Virginia ini.

Kebersamaan Dalam Gamelan
Cinta pada pandangan pertama terhadap gamelan juga didukung oleh kekaguman orang Amerika akan rasa kebersamaan yang tercipta di antara para pemain gamelan. “Kalau kita di Amerika, kalau kuliah sudah ‘pergi’ dari rumah. Setelah itu kerja, pergi lagi. Kadang-kadang orang tidak punya ikatan keluarga atau ikatan tetangga yang seperti kita punya di Indonesia, tapi itu justru sangat kuat di dalam dunia gamelan,” kata Emiko. “Jadi saya rasa itu juga menjawab suatu kerinduan yang ada di dalam hati masyarakat di Amerika untuk bisa terikat di dalam satu komunitas,” lanjut wanita keturunan Yogyakarta dan Jepang ini kepada VOA.
Gamelatron, proyek ciptaan senimas AS, Aaron Taylor Kuffner (foto/dok: Aaron Taylor Kuffner)
 
Kebersamaan dalam gamelan juga dirasakan oleh seniman AS, Aaron Taylor Kuffner (39), pencipta sebuah proyek gamelan ‘Gamelatron’ yang menggabungkan alat musik gamelan dengan teknologi robotik, sehingga gamelan tersebut bisa bermain dengan sendirinya melalui arahan komputer. “Kebudayaan di Amerika berbeda dengan di Indonesia. Di Amerika sangat individual, jadi grup gamelan penting untuk kebudayaan di Amerika,” ujar pria yang menciptakan proyek ‘Gamelatron’ sebagai inovasinya dalam mengembangkan gamelan.   
Aaron yang pernah belajar gamelan di Indonesia selama tiga tahun, mengakui bahwa gamelan bisa menjadi alat pemersatu di era teknologi serba canggih yang sering membuat orang mengisolasi diri dengan smartphone dan Internet, “Grup gamelan adalah kesempatan untuk melakukan kumpul bersama dan aktivitas bersama,” lanjutnya.

Beragam Komunitas Gamelan di AS
Para mahasiswa yang pernah mengikuti mata kuliah gamelan di universitas-universitas Amerika inilah yang kemudian membantu penyebaran dan pembentukan kelompok gamelan, yang sekarang jumlahnya hampir mencapai 200 kelompok yang tersebar di seluruh negara bagian di AS. Jika memang tertarik dengan gamelan, biasanya setelah lulus, para mahasiswa itu kemudian pergi ke Indonesia untuk mempelajari gamelan lebih lanjut.

Gamelan Raga Kusuma yang dibentuk oleh Andrew McGraw pada tahun 2007 di Richmond, Virginia ini adalah salah satunya. Andrew yang memiliki pengalaman belajar gamelan di Bali, menjadi pengajar utama di kelompok gamelan Bali yang beranggotakan sekitar 30 orang, mulai dari umur 8 hingga 70 tahun.

Beragam kolaborasi seringkali dilakukan oleh Gamelan Raga Kusuma, salah satunya dengan komunitas Banjar Bali, yaitu komunitas masyarakat Bali di daerah Washington, D.C.


Kelompok Banjar Bali di Washington, D.C. (foto/dok: Banjar Bali
Kelompok Banjar Bali di Washington, D.C. (foto/dok: Banjar Bali“Ketika ada kegiatan yang berhubungan dengan pementasan tradisional kebudayaan Bali, seperti menari, banyak warga dari Banjar Bali, salah satunya saya, yang diundang. Jadi misalnya seperti dari Richmond dengan Gamelan Raga Kusuma, sering sekali mengadakan pentas, kita jadi sering ikut di sana,” papar Ika Inggas, ketua dari komunitas Banjar Bali.

Beralih ke Berkeley, California, kelompok Gamelan Sekar Jaya yang sudah berdiri sejak 35 tahun yang lalu adalah kelompok gamelan tertua di AS. Kelompok gamelan yang didirikan oleh I Wayan Suweca bersama warga Amerika, Rachel Cooper dan Michael Tenzer ini banyak bekerja sama dengan University of California, Berkeley, dalam mata kuliah gamelan dan juga dalam mendatangkan guru gamelan dari Bali.

Sampai hari ini, anggota Sekar Jaya sudah mencapai sekitar 60 orang baik Amerika maupun Indonesia. Melalui Sekar Jaya, orang-orang Amerika dan juga Indonesia yang tinggal di California, bisa belajar tentang berbagai kesenian Bali termasuk gamelan dan tariannya dengan instruktur yang langsung didatangkan dari Bali dan juga instruktur asal Amerika. “Ada unsur belajarnya, unsur pertunjukan dan pertukaran budaya. Jadi pentas sambil belajar tentang kesenian tentang budaya Bali, Indonesia,” jelas Emiko yang bergabung sebagai murid dengan Sekar Jaya pada tahun 1991, saat masih berusia 18 tahun.

Selain itu, ada juga kelompok gamelan di Amerika yang awalnya didirikan di Indonesia, seperti Gamelan Wrhatnala USA di Washington, D.C, yang beranggotakan sekitar 50 orang baik Amerika maupun Indonesia.

Project Manager Gamelan Wrhatnala USA, Mourien Supartha mengatakan, biasanya orang-orang Amerika yang akhirnya bergabung di kelompok gamelannya tertarik setelah melihat pertunjukan mereka, “Kadang-kadang setelah performance apalagi kalau pakai live gamelan, kita suka ada sedikit workshop di akhir pertunjukan. Kita kasih kesempatan kepada penonton untuk mencoba main gamelan,” ujar Mourien kepada VOA. Mourien berharap untuk ke depannya, Gamelan Wrhatnala USA bisa berkolaborasi dengan kelompok gamelan yang lain di Amerika.

Gamelan Goes to School
Gamelan Sumunar arahan Joko Sutrisno di St. Paul, Minnesota (foto/dok: Joko Sutrisno)
Gamelan Sumunar arahan Joko Sutrisno di St. Paul, Minnesota (foto/dok: Joko Sutrisno)Tidak hanya di universitas-universitas Amerika, tetapi di kota St. Paul,  Minnesota, kelompok gamelan nirlaba, Sumunar, yang dibina oleh Joko Sutrisno, telah membawa program gamelan ke sekolah-sekolah Amerika. “Selain di universitas, program kita juga dari TK sampai SMA. Di Minnesota sendiri sekarang gamelan Jawa ada lebih dari 12 set,” ujar pria yang juga mengajar gamelan di University of Minnesota dan beberapa universitas lain di Amerika.
“Kita punya program namanya School Residencies. Jadi kita bawa alat satu truk ke sekolah, kita di sana mengajar satu sampai dua minggu. Satu hari belajar 1 jam. Setelah 10 kali pertemuan, kita adakan pertunjukan. Mereka bisa main, tidak melihat notasi, dan confident,” lanjutnya.
Usaha dan kerja keras lulusan Institut Seni Indonesia, Solo, ini mendapat sambutan yang sangat positif. “Pendapat orang tua dan guru mereka ‘Amazing! How can we do that in 10 lessons?’” ujar pria yang sudah 20 tahun menetap di Amerika ini. 
  
Melestarikan Gamelan di Amerika
Berbagai cara terus dilakukan oleh para artis dan seniman gamelan di Amerika untuk terus mempromosikan kebudayaan Indonesia melalui gamelan di Amerika. “Saya punya impian untuk membuat pagelaran seni dengan seluruh sanggar-sanggar yang ada di Amerika sini,” ujar Mourien. Dari situ tentunya Indonesia beserta kebudayaannya akan semakin dikenal. “Saya sangat senang orang semakin mengenal Indonesia,” kata Emiko yang juga adalah pendiri sanggar Cudamani di Ubud, Bali. “Saya sendiri, mungkin karena saya seniman merasa sangat bangga dengan seni dan budaya yang ada di Indonesia. Bagi saya itu adalah salah satu kekuatan yang paling penting yang kita punya di Indonesia. Jadi kalau orang bisa mengenal Indonesia melalui kesenian saya sangat bahagia sekali,” lanjutnya menutup wawancara dengan VOA. (sumber: VOA)

Friday, December 19, 2014

Rampak gendang, Angklung membahawa di gurun pasir Aljazair

16 Desember 2014
Dalam rangka  HUT Pertamina ke-57, Tim Kesenian KBRI Alger mengisi pentas seni Indonesia di ladang minyak Pertamina di Hassi Messaoud dan di Menzel Ledjmat Nord /MLN (Gurun Sahara Aljazair) pada tanggal 8 - 10 Desember 2014. Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Alger, Ida Susanty Munir dan Direktur Regional Copal Algeria (Pertamina) Eko Rukmono menghadiri acara beserta para tamu undangan.

Penampilan pertama di Base Camp Hassi Messaoud dihadiri hampir seratus orang undangan yang terdiri dari mitra kerja sama di bidang migas dan pekerja dari berbagai negara. Sementara pada pertunjukan kedua di Base Camp MLN dihadiri hampir dua ratus  orang undangan.  Dalam kedua kesempatan tersebut tim kesenian KBRI Alger menampilkan Rampak Kendang dan Angklung.

Meski suhu udara di bawah 10° C, penampilan tim kesenian KBRI Alger dengan   bersemangat membawakan berbagai lagu daerah dari Indonesia seperti, Tanah Airku, Gundul-Gundul Pacul, Burung Kakatua, Apuse, Tokecang dan Rek Ayo Rek dengan  rampak gendang dan angklung yang saling bersahutan dan melodius.


Para undangan mendapat kesempatan untuk memainkan Angklung dipandu oleh Tim Kesenian KBRI Alger. Kegiatan tersebut mendapatkan sambutan meriah dari para penonton dengan banyaknya peminat yang mencoba memainkan alat musik khas Indonesia dari Jawa Barat tersebut.

Penampilan seni tim KBRI Alger telah meramaikan acara HUT Pertamina dengan penuh kegembiraan dan mendapatkan tanggapan yang sangat antusias dari para tamu undangan. Acara quiz juga menarik perhatian pengunjung dengan hadiah cinderamata kepada peserta yang berhasil menjawab pertanyaan dengan benar.  Kegiatan memeriahkan HUT Pertamina tersebut juga dilengkapi dengan suguhan makanan internasional dan dilengkapi makanan khas kuliner Indonesia. (Sumber KBRI Alger/Dit.Infomed/QZN).

Wednesday, December 17, 2014

Parade Tarian Yosim Pancar di Wellington


Parade dan kendaraan hias Indonesia yang menampilkan kekayaan ragam seni dan budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke seperti aneka ragam baju daerah, Angklung, tari Merak Jawab Barat dan tari Yosim Pancar Papua mendapatkan sambutan hangat dan antusias dari sekitar 60 ribu penonton Santa Parade Wellington, Selandia Baru (14/12). 
 
 

Parade Indonesia yang diikuti 100 orang warga Indonesia yang berdomisili di Wellington dan sekitarnya berhasil menarik perhatian penonton terutama saat setiap puluhan pelajar dan mahasiswa asal Papua membawakan tari pergaulan Yosim Pancar yang dikenal sangat dinamis. Pagelaran Angklung, penampilan tari Merak dan Yosim Pancar secara bergantian disuguhkan kepada para penonton yang memadati sepanjang jalan rute Santa Parade Wellington, yang berjarak lebih kurang 2 km.

Dengan bentangan spanduk “Wonderful Indonesia” di bagian paling depan, barisan parade dan kendaraan hias Indonesia diikuti oleh Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) yang membawa bendera Indonesia dan Selandia Baru sebagai simbol persahabatan kedua negara, Indonesia dan Selandia Baru.


Selanjutnya, barisan parade diikuti oleh becak mini 3 roda, beberapa pemain Angklung, barisan warga dengan aneka ragam baju daerah, kendaraan hias (trailer) Raja dan Ratu yang dihiasi patung Garuda Wisnu Kencana, para penari tarian Merak Jawa Barat, dan para penari Yosim Pancar Papua serta barisan pembawa umbul-umbul.

Partisipasi Indonesia pada Santa Parade Wellington tahun 2014 berlangsung atas kerja sama antara Kedutaan Besar Republik Indonesia dan Komunitas Masyarakat Indonesia di Wellington dan sekitarnya untuk Santa Parade 2014, yang dipimpin oleh Jeffry Liando.

Selain peserta Indonesia, Santa Parade Wellington tahun 2014 juga diikuti antara lain parade dan kendaraan hias komunitas masyarakat Cina di Wellington, komunitas masyarakat Latin di Selandia Baru, komunitas masyarakat Inggris di Wellington, komunitas masyarakat Kamboja di Selandia Baru, the Transformers, Harry Potter, FIFA World Cup U-20, Mr & Mrs Potato Head dan the Madagascar Penguins.

Santa Parade Wellington mulai diadakan sejak tahun 1949. Santa Parade Wellington merupakan kegiatan rutin tahunan menjelang hari Natal yang selalu dibanjiri oleh puluhan ribu penonton sebagaimana diutarakan oleh Counsellor Pensosbud KBRI Wellington, Wanton Saragih yang juga ikut serta membawakan pakaian tradisional Tanah Batak. 
(sumber: Pensosbud/KBRI Wellington)

Saturday, December 13, 2014

Diplomasi Budaya Mahasiswa Indonesia di Moskow

10 Desember 2014
The People’s Friendship University of Russia (Rossiiskii Universitet Druzhby Narodov) atau disingkat RUDN, pada tanggal 9 Desember 2014, menyelenggarakan pembukaan Pekan Kebudayaan Mahasiswa Asia ke-17 di aula Gedung Utama RUDN. Pembukaan dihadiri oleh 2 (dua) orang Wakil Rektor RUDN (Gladush Alexander Dmitrievich dan Olga Valentinovna Andreeva), sejumlah Duta Besar ASEAN, para mahasiswa Rusia dan asing, serta masyarakat umum.
Duta Besar RI untuk Federasi Rusia dan Republik Belarus, Djauhari Oratmangun, bersama-sama dengan Wakil Rektor RUDN, Olga Valentinovna Andreeva, mendapatkan kehormatan untuk menggunting pita, tanda dibukanya Pekan Budaya Mahasiswa Asia ke-17, yang berlangsung tanggal 8-12 Desember 2014.
Saat ini adalah abad Asia, dan Rusia merupakan bagian dari Asia”, ujar Djauhari Oratmangun dalam pidato sambutannya mewakili para Duta Besar dari Kedutaan negara-negara Asia di Rusia, pada acara pembukaan Pekan Kebudayaan Mahasiswa Asia ke-17 di RUDN.
Acara pembukaan menampilkan 13 booth budaya, yang merepresentasikan negara-negara asal para mahasiswa asing yang belajar di RUDN. Negara-negara yang menampilkan booth yaitu, Indonesia, RRT, Afghanistan, Mongolia, India, Bangladesh, Nepal, Srilanka, Malaysia, Kamboja, Laos, Thailand, dan Vietnam.
"Mahasiswa Indonesia selalu aktif dalam setiap acara, terlepas dari jumlahnya yang tidak banyak, namun selalu berperan dalam setiap konferensi, seminar dan pameran budaya”, ujar Wakil Rektor RUDN, Olga Valentinovna Andreeva ketika mengunjungi booth Indonesia.
Sebagai informasi, jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di RUDN sebanyak 15 orang, meliputi, 8 (delapan) orang S1, 4 (empat) orang S2, dan 3 (tiga) orang S3.
RUDN (The People’s Friendship University of Russia) merupakan salah satu perguruan tinggi terbaik di Rusia, menurut Kementerian Pendidikan Rusia, selain Moscow State University, dan Saint Petersburg University. RUDN memiliki 57 program dan sekitar 35.000 mahasiswa. Sementara itu, mahasiswa yang berasal dari Asia sebanyak 1600 orang, dan mahasiswa yang terbesar berasal dari RRT sebanyak 800 orang.
Sebagai informasi, Universitas ini juga berdiri atas prakarsa Presiden pertama Soekarno pada era lalu kepada Uni Soviet. Pada tahun 1960, Nikita Khruscev mengadakan kunjungan balasan Soekarno ke Yogyakarta dan menyampaikan pengumuman pembukaan Universitas Persahabatan Antar Bangsa di Moskow, atau dulu sempat disebut juga Universitas Patrice Lumumba. Hal ini juga pada masa itu sebagai undangan terbuka Khruscev kepada Mahasiswa Indonesia untuk belajar di Universitas Persahabatan Antar Bangsa dengan beasiswa Pemerintah Uni Soviet.
Sejumlah acara telah diagendakan untuk menyemarakkan sepekan kegiatan Pekan Budaya Mahasiswa Asia ke-17 di RUDN tersebut, antara lain, acara round table discussion dengan tema, ‘Asia Modern: masalah dan tendensi perkembangannya’, pameran berbagai diaspora Asia, pemutaran film-film dokumenter tentang negara-negara Asia. Puncak kegiatan sekaligus penutupan dilaksanakan dengan acara Malam Budaya Asia dalam bentuk konser seni dan budaya, pada tanggal 12 Desember 2014. (sumber: KBRI Moscow)

Sunday, December 7, 2014

Bullgarian National Championship of Folklore “Euro Folk 2015”

Main event of Musical Feasts “Euro Folk 2015” is No 1 Festival in Europe for the traditional folklore arts – Stara Planina Fest “Balkan Folk” in Bulgaria. Every year from 7 000 to 15 000 musicians, singers and dancers take part in it. The participant in Stara Planina Fest “Balkan Folk 2015” have the right to take part in the National Championship of Folklore Arts "Euro Folk 2015”.
Typical feature of Musical Feasts "Euro Folk" is that all performances are recorded with professional audio and television technics and the best of them are repeatedly broadcasted by more than 50 cable and satellite televisions, as well as the World Wide Internet Television "EuroFolkTV" at tv.eurofolk.com.
 
All of these activities realize the main purpose of the European Association of Folklore Festivals - EAFF to promote traditional folk arts through the enormous possibilities of massmedia. Maintaining the diversity of the main traditional values ​​and identity of different nationalities, guarantees the evolution of humanity.
 
All of these activities realize the main purpose of the European Association of Folklore Festivals - EAFF to promote traditional folk arts through the enormous possibilities of massmedia. Maintaining the diversity of the main traditional values ​​and identity of different nationalities, guarantees the evolution of humanity.
 
Date 7 - 17 May 2015
Location Veliko Tarnovo
Director Kaloyan Nikolov
Application Deadline 23 January 2015\  
 

Town host - Veliko Tarnovo, Bulgaria

Veliko Tarnovo (Bulgarian: Велико Търново) is a city in north central Bulgaria and the administrative centre of Veliko Tarnovo Province. Often referred to as the "City of the Tsars", Veliko Tarnovo is located on the Yantra River and is famous as the historical capital of the Second Bulgarian Empire, attracting many tourists with its unique architecture. The old city is situated on three hills, Tsarevets, Trapezitsa and Sveta Gora raising amidst the meanders of the Yantra. Tsarevets housed the palaces of the Bulgarian Emperors and the Patriarchate with the Patriarchal Cathedral, as well as a number of administrative and residential edifices surrounded by thick walls. Trapezitsa was known for its many churches and as the main residence of the nobility. In the Middle Ages it was among the main European centres of culture and gave its name to the architecture of the Tarnovo Artistic School, painting of the Tarnovo Artistic School and literature.

Preliminary Program

07/5/2015/  or 14/5/2015/ Day of arrival - Check in at hotel – The rest of the total amount for the group, must be paid at the latest on this day - A detailed program and a person in charge will be provided to each group. Free time for rest, walk to the city (market and clubs). - Dinner (in consultation with the hotel).
08/5/2015/  or 15/5/2015/ Breakfast - Free day from morning till noon- Optional excursion – Visit to "Tsarevets" - Tsars Castle, and Ethnological Museum. - Midday meal (in consultation with the hotel). 10 min presentation concert - 19.00 - 21.00 - festival concert.
09/5/2015/  or 16/5/2015/   Breakfast –   Free day from morning till noon- Optional excursion – Gabrovo - Ethografic complex "Etara", Sofia, Kazanlak, Rouse, Buharest  - Midday meal (in consultation with the hotel). 10 min presentation concert - 19.00 - 21.00 - festival concert. "Sound and lights" - http://www.youtube.com/watch?v=Xr_wuuT386k
10/5/2015/  or 17/5/2015/    Breakfast - Departure of the groups.
 
During the National Championship of Folklore  "Euro Folk 2015” studio audio recordings and filming of professional video clips of the participants' program will be done free of charge of those performances awarded by the jury or against payment.
 
The preliminary program of XVIII Stara Planina Fest "Balkan Folk 2014"-  HERE
The preliminary program of XVII Stara Planina Fest "Balkan Folk 2013"-  HERE
The preliminary program of XVI Stara Planina Fest "Balkan Folk 2012"-  HERE
You can see the program of last XV Stara Planina Fest "Balkan Folk 2011" - HERE

Regulations

Main task of the organizers is to ensure the creative groups an access to the stage, to gather them in a concourse programme aimed at defining the best ones and to popularize the award winners of the fest by broadcasting their art in Bulgaria and the European TV air.
The National Championship of Folklore Arts "Euro Folk 2015” has been organized by EAFF and other organizations within the scope of Musical Feasts “Euro Folk 2015” – The World is Television.

To enter the contest the participants must be accredited, which is realized under the following conditions:
 
Contest system includes the following categories:
A) Folklore songs groups, authentic folklore (choirs and ensembles)
B) Folklore songs groups, modern arrangement of folklore music; - (choirs and ensembles)
C) Folklore dances groups, authentic folklore; (folklore dance groups, ensembles)
D) Folklore dances groups; modern choreography (folklore dance groups, ensembles)
E) Folklore mix ensembles -  Authentic performances; (live vocal, instrumental and dance)
F) Folklore mix ensembles -  Processed performances; (live vocal, instrumental and dance)
G) Folklore Instrumental groups; folklore music (ensembles and orchestras)
H) Folklore customs groups; replica (folklore groups, ensembles)
I ) Group of urban folklore; (old town songs, old town dance, world folk)
 
*i  individual performers and duets by all categories exept E,F,H;
*1  by all categories there is also ranking of children and young people up to 18 years. /in children's and youth groups can participate up to 30% of participants from different age /
*2  by all categories there is ranking adults people up 18 years.
During the National Championship of Folklore "Euro Folk 2015” studio audio recordings and filming of professional video clips of the participants' program will be done free of charge of those performances awarded by the jury or against payment.

The duration of the program should not exceed 20 minutes.
It is desirable by post or e-mail, to the address of EAFF, to send the last released album of the participant (the group) or demo records of not less than two performances. It is desirable that the application form has an added annotation about the participant and advertising materials – photos. The sent material are not a subject of return.
During the participation of the collective in the championship the organizer could invite it to take part in general events such as Official Opening, Official Closing, cocktail party and others.

Awards

The awards are different from those in Stara Planina Fest “Balkan Folk”
The big award “Euro Folk 2015” – Grand Prix "Orpheus" and a diploma for the Absolute National Championship of Folklore of Bulgaria.
The Winner of Grand Prix "Orpheus" takes also a money prize of  500 Euro.

First awards in the relevant categories and a diploma for the National Championship of Folklore Arts for the relevant category. The champions obtain golden medals, and for the second and third place – silver and bronze medals. At jury’s decision in the single categories could be given additional golden, silver and bronze medals with the relevant diplomas.
The jury awards the best performances with a free of charge shooting and producing of a free video clip.
All of the participants are granted with deeds for laureates, diplomas and object – awards. The awards are granted on a ceremony during "Euro Folk 2015" Musical Feasts - The world is television.

In jury’s opinion and the producers from Euro Folk Academy the best performers and artistic directors shall be honoured with a Diploma for obtaining the rank Maestro or Maestro Academic. The diplomas are sent to the relevant municipalities with asking for a ceremonial delivery.

All award winners get a free of charge copy of the TV product, which consists of their performances, and has been broadcasted in Bulgaria or in Europe.
The participants can order against payment full recordings of their performances, including video clips, CD and DVD. These products have the right to be broadcasted in the relevant country.
The jury consists of 3 people.
Championship categories are consistent with the categories of the World ranking list of folklore.
In the Bulgarian National Championship of Folklore may participate by 20% of participants from other countries.
Collected points standings with odds for a National Championship.

Points valid for World ranking list of folklore.
 
Championship OddsPoints for participation
Items by Category
First Round
 Second round - Race Grand Prix
National  210
1. 100 
2.  50
3.  30
1. 200
2. 100
3. 70
Next - 4
 
Unambiguous text: The collectives or presenting organizations, if approved by the jury to participate in the Championship, give the organizers the right to be recorded on video and audio, arranged in a program, presenting the fest and broadcasted by a TV channel or in some other way, for which a contract agreement will be signed.
Unambiguous text: Teams from another country that can not participate in the second round, unless they compete and perform Bulgarian folklore.

Registration of the Participants

Participation fee: (for participants and accompanying persons)

The registration fee is 75 Euros per person
Every 25 participants one is welcome to join in for free.
Period 1:   07 - 10 May               Period 2:  14 -17 May
(paying goes in several month payments till departure time)

Accommodation:

Accommodation is in 1/3 and 1/4 rooms (supplement for 1/2 room is 5 Euro per person per night) in 3*** hotels:
All the hotels are located in Veliko Turnovo, based on 3 half-board (breakfast and dinner-buffet)

The participation fee includes:

  • Accommodation in 1/3 and 1/4 rooms, 3 half-board (breakfast and dinner-buffet), (supplement for 1/2 room is 5 Euro per person per night)
  • Organization expenses
  • Free place on every 25-th member
  • Degrees
  • Invitation letter***
  • Include to participate in Stara planina Fest "Balkan folk"

The participation fee does not include:

  • Additional day in some of the hotels: it costs 25 Euro per person
  • Facultative tours (tour of Veliko Tarnovo, Sofia, Kazanlak, Gabrovo, Shipka, Ruse, Buharest)
  • Transport, parking, insurance...
  • Transport from airport, railway.
For individual performers and duets have additional participation fee in contest, which is 25 Euro.
 
The participants pay for their participation in the National Championship of Folklore "Euro Folk 2015” by the notified prices. The advanced payment is 20% from the total amount for the participation of the group. It is payable up to March 31,
The registration is made on the basis of an application form for participation by the collective.
After confirming the application form, an advanced payment should be made.
The registration of the participants at their arrival is going to be made at the office by Mother Bulgaria Monument at the centre of Veliko Tarnovo.

General Conditions

The sender covers all bank fees.
Participants do not get paid for their performance.
All filled in and signed applications will mean acceptance of the terms laid by the present regulation.

 

Sunday, November 23, 2014

Tarian Indonesia (Indonesia Dance)

Tarian Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman suku bangsa dan budaya Indonesia. Terdapat lebih dari 700 suku bangsa di Indonesia: dapat terlihat dari akar budaya bangsa Austronesia dan Melanesia, dipengaruhi oleh berbagai budaya dari negeri tetangga di Asia bahkan pengaruh barat yang diserap melalui kolonialisasi. Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki berbagai tarian khasnya sendiri; Di Indonesia terdapat lebih dari 3000 tarian asli Indonesia. Tradisi kuno tarian dan drama dilestarikan di berbagai sanggar dan sekolah seni tari yang dilindungi oleh pihak keraton atau akademi seni yang dijalankan pemerintah.


Untuk keperluan penggolongan, seni tari di Indonesia dapat digolongkan ke dalam berbagai kategori. Dalam kategori sejarah, seni tari Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga era: era kesukuan prasejarah, era Hindu-Buddha, dan era Islam. Berdasarkan pelindung dan pendukungnya, dapat terbagi dalam dua kelompok, tari keraton (tari istana) yang didukung kaum bangsawan, dan tari rakyat yang tumbuh dari rakyat kebanyakan. Berdasarkan tradisinya, tarian Indonesia dibagi dalam dua kelompok; tari tradisional dan tari kontemporer.

Tari tradisional

Tari tradisional Indonesia mencerminkan kekayaan dan keanekaragaman bangsa Indonesia. Beberapa tradisi seni tari seperti; tarian Bali, tarian Jawa, tarian Sunda, tarian Minangkabau, tarian Palembang, tarian Melayu, tarian Aceh, dan masih banyak lagi adalah seni tari yang berkembang sejak dahulu kala, meskipun demikian tari ini tetap dikembangkan hingga kini. Beberapa tari mungkin telah berusia ratusan tahun, sementara beberapa tari berlanggam tradisional mungkin baru diciptakan kurang dari satu dekade yang lalu. Penciptaan tari dengan koreografi baru, tetapi masih di dalam kerangka disiplin tradisi tari tertentu masih dimungkinkan. Sebagai hasilnya, muncullah beberapa tari kreasi baru. Tari kreasi baru ini dapat merupakan penggalian kembali akar-akar budaya yang telah sirna, penafsiran baru, inspirasi atau eksplorasi seni baru atas seni tari tradisional.
Sekolah seni tertentu di Indonesia seperti Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) di Bandung, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di Jakarta, Institut Seni Indonesia (ISI) yang tersebar di Denpasar, Yogyakarta, dan Surakarta kesemuanya mendukung dan menggalakkan siswanya untuk mengeksplorasi dan mengembangkan seni tari tradisional di Indonesia. Beberapa festival tertentu seperti Festival Kesenian Bali dikenal sebagai ajang ternama bagi seniman tari Bali untuk menampilkan tari kreasi baru karya mereka.

Tari kontemporer

Seni tari kontemporer Indonesia meminjam banyak pengaruh dari luar, seperti tari balet dan tari modern barat. Pada tahun 1954, dua seniman dari Yogyakarta — Bagong Kusudiarjo dan Wisnuwardhana — merantau ke Amerika Serikat untuk belajar ballet dan tari modern dengan berbagai sanggar tari disana. Ketika kembali ke Indonesia pada tahun 1959 mereka membawa budaya berkesenian baru, yang pada akhirnya mengubah arah, wajah dan pergerakan dan koreografi baru, mereka memperkenalkan gagasan seni tari sebagai ekspresi pribadi sang seniman ke dalam seni tari Indonesia.[3] Gagasan seni tari sebagai media ekspresi pribadi seniman telah membangkitkan seni tari Indonesia, dari yang semula selalu berlatar tradisi menjadi ekspresi seni, melalui paparan sang seniman terhadap berbagai latar belakang seni dan budaya yang lebih luas dan kaya. Seni tari tradisional Indonesia juga banyak memengaruhi seni tari kontemporer di Indonesia, misalnya langgam tari Jawa berupa pose dan sikap tubuh serta keanggunan gerakan seringkali muncul dalam pagelaran seni tari kontemporer di Indonesia. Kolaborasi internasional juga dimungkinkan, misalnya kolaborasi seni tari Jepang Noh dengan seni tari teater tradisional Jawa dan Bali.
Tari modern Indonesia juga seringkali ditampilkan dalam dunia industri hiburan dan pertunjukan Indonesia, misalnya tarian pengiring nyanyian, pagelaran musik, atau panggung hiburan. Kini dengan derasnya pengaruh budaya pop dari luar negeri, terutama dari Amerika serikat, beberapa tari modern seperti tari jalanan (street dance) juga merebut perhatian kaum muda Indonesia.
(sumber: wikipedia.org)

Sunday, August 10, 2014

Gamelan

Gamelan Taniwha Jaya is a group of New Zealand musicians dedicated to the study and performance of Balinese music. They specialise in contemporary music for Gamelan Gong Kebyar, and frequently incorporate western instruments into the ensemble. They perform on a set of instruments made by Pak Rantes in Denpasar, Bali, which was bought by Gareth Farr in 2003. 

The name combines a NZ Māori word (Taniwha – a mythical water monster) with a Balinese word (Jaya – glorious or victorious) to symbolise the mix of New Zealand and Balinese cultures.
The gamelan is the traditional percussion orchestra of Indonesia, and Bali’s Gong Kebyar style is characterised by unpredictable rhythms and wild dynamic contrasts. Entirely comprised of bronze metallophones and gongs, it has a vibrant and complex sound, and the music shimmers and pulses with a broad range of sound from tiny high tinkling metallophones all the way down to massive booming gongs.
Gamelan Taniwha Jaya was launched in August 2003, and since then has been involved in many projects and performances – including a collaboration with one of NZ’s most popular acts, Minuit, at WOMAD 2012.
In July 2013, the group toured Indonesia, performing music for gamelan by NZ composers in several cities – including the Jogjakarta Gamelan Festival in Java, and in Ubud, Bali.
The ensemble is based at the New Zealand School of Music, Kelburn campus in Wellington – if you are interested in joining the group, please email Gareth – details on the contact page.
See the official website of gamelan in Wellington, NZ -  http://www.gamelan.org.nz

Reyong Fingers Gamelan Padhang Moncar Nz 940

The Seven Ages of Man

from All's Well That Ends Well by William Shakespeare (Act II, Scene vii)
All the world's a stage,
And all the men and women merely players;
They have their exits and their entrances,
And one man in his time plays many parts,
His acts being seven ages.

At first, the infant,
Mewling and puking in the nurse's arms.

Then the whining school boy, with his satchel
And shining morning face, creeping like snail
Unwillingly to school.

And then the lover,
Sighing like furnace, with a woeful ballad
Made to his mistress' eyebrow.
a soldier the lover
Then a soldier,
Full of strange oaths and bearded like the pard,
Jealous in honor, sudden and quick in quarrel,
Seeking the bubble reputation
Even in the cannon's mouth.

And then the justice,
In fair round belly with good capon lined,
With eyes severe and beard of formal cut,
Full of wise saws and modern instances;
And so he plays his part.
The sixth age shifts
Into the lean and slippered pantaloon,

With spectacles on nose and pouch on side;
sixth age the justice His youthful hose, well saved, a world too wide
For his shrunk shank, and his big manly voice,
Turning again toward childish treble, pipes
And whistles in his sound.

Last scene of all,
That ends this strange eventful history,
Is second childishness and mere oblivion,
Sans teeth, sans eyes, sans taste, sans everything.













Friday, August 1, 2014

Nusantara Grand Cultural Parade 2014

18 Aug 2014 Start At: 07:00 Until: 15:00


nusantara art n culture paradeIn conjunction with Indonesia's 69th Independence Day,  which falls on 17th August the Nusantara Art and Cultural Parade 2014, one of the grandest processions in Indonesia will be shown on 18th August 2014.  

Presenting the rich diversity of Indonesia's art and cultural performanced from all offer the  Archipelago,  the Nusantara Art and Cultural Parade displays the rich diversity in  the arts and cultural performances  of the islands that will be  centered at the country's national icon:  the  National Monument (Monas) located in the heart of Jakarta.

This outstanding parade is initiated and organized by the Ministry of Tourism and Creative Economy in collaboration with the City of Jakarta

Nusantara Art and Cultural Parade 201 represents and epitomizes the arts and cultural wealth and diversity of Indonesia. The event is a creative endeavor by the county’s finest artists, artisans and cultural personalities to  illustrate Indonesia's   cultural diversity involving all the provinces of the country. This is the best opportunity to observe some of Indonesia’s most fascinating art and cultural wonders.

The parade will commence at the National Monument (Monas) before marching into the Istana Merdeka (Merdeka Palace) where each troupe will perform for 2.5 minutes at  the honorary stage. From there, the parade will continue to the Sapta Pesona Building (The Office of the Ministry of Tourism and Creative Economy) in front of the Arjuna Wijaya Statue at Merdeka Barat, and turn left to Medan Merdeka Selatan, where the parade will pass Jakarta's City Hall, to finally return to the Monas Square.

The event will involve delegates from all 34 provinces of Indonesia with an addition of 5 State Owned Enterprises. No fewer than 4,000 artists from all over the archipelago are estimated involved in this one of a kind parade. The parade will be highlighted by creatively designed traditional costumes, traditional art performances, a variety of traditional musical ensembles, and beautifully decorated floats. There will also be delegates from Jakarta’s Tourism Police who will ride decorated bicycles, hundreds of the unique Reog Ponorogo dancers from East Java, and a special marching band colorfully dressed  from the Jember Fashion Carnival (JFC).

Participants for the parade have been carefully selected based on their skill and competence in their local art and culture. Each contingent may consist of 50 to 100 persons,  accompanied by art directors, choreographers, composers, makeup artists, costume designers, production designers, and more.

The Nusantara Art and Cultural Parade 2014 is intended to boost the creativity of Indonesia's  Performing Art  wrapped in the form of a Carnival. Moreover, the event is expected to raise the appreciation of the Indonesian people for their own country’s authentic arts and culture. Furthermore, it is expected to create a wave of creativity  throughout the archipelago and establish itself as an icon of indonesia's  Creative Economy which can simultaneously acts as a major tourist attraction to Indonesia.
For more information, you can contact:

Secretary of Performing Arts and Music Industry Development
Directorate General of Art and Culture-based Creative Economy
The Ministry of Tourism and Creative Economy
Gedung Film 5th Floor
MT. Haryono Kav. 47-48
South Jakarta, 12770
Phone/Fax. +62 21 79170572
Lina Verawati: 085890232192
Arlin Citra: 085776352100
Email: senipertunjukanpspim@gmail.com

Reinventing the Sacred Highland


TorajaThe Indonesian Archipelago forms an important part in the history of human civilization in Asia. A number of scientists even speculate that it is here where civilization of modern man  began. Traces of these ancient human civilizations are embedded in the megalithic culture of Tana Toraja inSouth Sulawesi Province and will be unveiled to the world at the Toraja International Festival 2014,  scheduled to take place from 11th to 13th August 2014, at the ancient villlage of Ke'te Kesu, Sanggalangi district, Tana Toraja Regency.

Carrying the theme “Reinventing the Sacred Highland”, the festival intends to re-discover the sacred beauty of the “Land of the Heavenly Kings” and celebrate the extraordinary megalithic culture of Tana Toraja.  

The festival will commence with a colossal performance of Opera Toraja. The opera will involve musicians, dancers, acrobats, actors, and other artists from Indonesia and from abroad. The festival will continue with musical performances featuring Tana Toraja’s own musicians as well as  national and international performers. The festival will  be highlighted with an exhibition of Toraja’s variety of authentic hand-woven fabrics. There will also be a coffee corner where people can enjoy the world- renowned Toraja Coffee, and a seminar  held on the role of youth in local culture and tourism development.

This year the festival  has invited distinguished guests from England, the United States of America, Zimbabwe, and Korea.

"Discovered" and opened to the world from their long isolation only since the beginning of the last century,  Toraja ethnic group today still adheres to their age-old beliefs, rituals and traditions, although many of her people are modernized or have embraced Christianity. Toraja is most well known for its elaborate funeral ceremonies that can take days and involve entire villages. These are not only moments for mourning but are moreover events to renew family ties and to ensure continued unity among villages and communities.

To reach Toraja you must  first fly to Makassar, capital of South Sulawesi Province. There are multiple daily flights to Makassar from Jakarta, Bali and other parts of Indonesia. Garuda Indonesia also flies to Makassar from Singapore.  Then you must drive by car or bus to  Toraja, The journey takes over 8 hours. If you plan to attend this unique Festival it is best to book your hotel well in advance.

Toraja International Festival Video

Wednesday, April 9, 2014

Gema Gamelan Bali di World Music Ensemble, Ontario

08 April 2014
Gamelan Bali berkumandang di pertunjukan budaya Indonesia oleh University of Waterloo (03/04). Pertunjukan dengan tema "World Music Ensemble: Gamelan Music of Bali" ini mengambil tempat di Luther Village Great Hall, Waterloo, Provinsi Ontario.
Conrad Grebel University College, University of Waterloo tahun ini untuk pertama kalinya mengajarkan musik tradisional  Indonesia, yaitu gamelan Bali. Sebagai pengajar gamelan Bali adalah Maisie Sum, seorang etnomusikolog, pemain musik, dan Associate Editor of Analytic Approaches to World Music Journal.

Maisie Sum telah mempelajari kesenian musik Bali di Indonesia dan telah mengikuti beberapa pertunjukan lokal serta anggota beberapa grup gamelan Bali  di Kanada.
Di Conrad Grebel University, Maisie Sum mengajar mata kuliah World Music and Music Appreciation dan juga sebagai pimpinan Balinese Gamelan Ensemble University of Waterloo.

Acara diawali dengan tarian Puspa Mekar yang dibawakan oleh Keiko Ninomiya, seorang penari dari Toronto. Berturut-turut disajikan musik gamelan: Gilak Bebonangan, Pengecet Hujan, Gilak, Sari Anom serta diakhiri dengan Kecak. Pertunjukan yang melibatkan sekitar 20 mahasiswa sebagai pemain juga menghadirkan pemain gamelan dari Bali  I Dewa Made Suparta. (sumber: KJRI Toronto)

Monday, April 7, 2014

40 Tahun Selebrasi Gamelan Indonesia Di Selandia Baru

Selasa, 01 April 2014
Naga, Selebrasi 40 tahun Gamelan di Selandia Baru
​Buah karya grup gamelan Padhang Moncar dan Taniwha Jaya di Selandia Baru yang meluncurkan CD baru berjudul “NAGA” (30/03). Peluncuran CD baru tersebut sekaligus menandai rangkaian peringatan 40 tahun gamelan Jawa tiba dan dipelajari di Wellington, Selandia Baru. Acara tersebut berlangsung meriah di Adams Concert Room, New Zealand School of Music (NZSM).

Peluncuran CD "NAGA" dihadiri langsung oleh Duta Besar RI, Jose Tavares, Walikota Wellington, Celia Wade–Brown, serta Deputy Director NZSM, Associate Prof. Green Garden, Manajer Gamelan Padhang Moncar, Associate Prof. Jack Body, Direktur Gamelan Taniwha Jaya, Gareth Farr bersama sekitar 150 orang.


Karya-karya musik baru gamelan pada CD berjudul “NAGA” tersebut merupakan hasil karya terbaru para anggota kelompok Padhang Moncar dan Taniwha Jaya.

Dalam kesempatan peluncuran itu, ditampikan sejumlah karya baru gamelan Jawa seperti “Nusantara Indah” karya Dedek Wahyudi dan “De la Noche de la Muerte” karya Briar Prastiti, serta gamelan Bali “Sekar Gendot” dan “Tinggal” karya Dr. Megan Collin.

“Saya sangat terkesan dengan antusiasme dan keseriusan warga Selandia Baru dalam mempelajari budaya Indonesia, dan KBRI Wellington akan terus mendukung pengembangan gamelan di Selandia Baru” demikian disampaikan Duta Besar Jose Tavares dalam sambutannya.

Pada kesempatan tersebut, Duta Besar juga memberikan sumbangan 3 set angklung kepada New Zealand School of Music.

Gamelan di Selandia Baru

Gamelan pertama kali tiba di Selandia Baru pada akhir tahun 1974, ketika Dr. Allan Thomas membeli seperangkat alat gamelan dari Cirebon di pantai utara Jawa Barat. Bersama Associate Prof. Jack Body, Dr. Allan membawa gamelan tersebut dari Auckland ke Wellington sebagai bagian dari program musikologi di Victoria University.

Pada tahun 1977, Perdana Menteri Selandia Baru, Norman Kirk mengunjungi Indonesia untuk pertama kalinya. Pada saat itu, Ibu Negara Tien Soeharto, memberikan hadiah 12 set gamelan Jawa kepada berbagai institusi di seluruh dunia, termasuk Kedutaan Besar Republik Indonesia di Wellington.

Duta Besar Indonesia pada saat itu menjalin kerja sama dengan School of Music Victoria University dan meminjamkan secara permanen seperangkat gamelan ‘pelog’ untuk sarana belajar bagi staf dan mahasiswa.

Dalam mendukung pengembangan gamelan di Victoria University, KBRI Wellington telah menyediakan tenaga bantuan guru gamelan yang juga pegawai setempat Kedutaan antara lain Midiyanto (1983-1986), Joko Sutrisno (1988 hingga 1995) - keduanya pindah ke Amerika Serikat serta Budi S. Putra sejak tahun 1996 hingga saat ini untuk pengajaran Gamelan Jawa.

Gamelan Bali juga diajarkan sebagai mata kuliah (PERF250) bagian dari program musikologi di NZSM oleh salah satu komposer muda terbaik Selandia Baru, Gareth Farr.

Padhang Moncar, Gamelan Indonesia dan "The Hobbit"

Padhang Moncar didirikan pada masa Duta Besar Abdul Irsan dan telah melakukan tour ke Indonesia 4 kali termasuk pada Juli 2013, dengan mengunjungi dan melakukan kolaborasi gamelan di enam kota di Indonesia antara lain Jakarta, Yogyakarta, Magelang, Solo, Malang dan Bali.

Dalam kunjungan 21 hari tersebut Padhang Moncar dan Taniwha Jaya melakukan 14 kali pertunjukkan termasuk di TMMI, Festival Kesenian Yogyakarta, International Gamelan Festival Yogyakarta, kolaborasi dengan sekolah menengah dan umum serta  perguruan tinggi seperti Universitas Gajah Mada, dan Universitas Brawijaya. 

Padhang Moncar dan Taniwha Jaya juga telah  dua kali pada tahun 2002 dan 2013 terlibat dalam festival budaya tahunan terbesar di Selandia Baru yaitu “World Music and Dance (WOMAD)” yang digelar di kota New Plymouth dengan menampilkan kolaborasi wayang kulit dengan dalang Dr. Joko Susilo (University of Otago,Dunedin) dengan jumlah pengunjung lebih dari 25.000 per hari.

Prestasi terbaru gamelan Padhang Moncar adalah menjadi elemen penting dalam salah satu soundtrack film “Hobbit 2”, karya produser dan sutradara terkemuka Selandia Baru, Sir Peter Jackson. (Sumber: KBRI Wellington)