Saturday, April 6, 2013

Bharata Wayang: Human Culture


Text: Hari Setianto/ Raphael Mamora
Photo: Hari Setianto


In pace with the intricate dance, enthralled by Arjuna and Dewi Sukesi’s fluid charm in protracted movements attended by Javanese gamelan music, in a rapid moment transforms into fast throbbing battle episodes amongst giants, thus was a fraction of Mahabrata and Ramayana’s epic saga portrayed dynamically by a Bharata Human Wayang theatre. Dialogues, theatrical  character roles, costumes, face painting and artistic traditional theatres makes this worthy of a world class theatrical arena.

Selaras gerak tari yang kompleks, sejenak terpana keluwesan sang Arjuna dan Dewi Sukesi dalam tempo tari yang sangat lamban diiringi gending gamelan jawa. Sesaat kemudian, berubah ke tempo tinggi dan adegan menjadi arena pertempuran para buto (raksasa). Sepenggal alur adegan yang dinamis dari pentas Wayang Orang Bharata melakonkan kembali kekuatan cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana. Dialog dan peran berkarakter ala teater. busana dan lukisan diwajah serta tata panggung tradisional yang artistik. Menjadikan pentas Wayang Orang Bharata sebagai sebuah pentas teatrikal kelas dunia.

The performance was scheduled to start at 8.00 PM, local time. Show performers were beginning to prep up after sunset and with Indonesiaculture.net given full access to scenes behind the stage, more than 60 wayang performers began painting their faces, giving life to legendary wayang characters that would later gild the theatrical stage.

Pagelaran baru akan dimulai sekitar pukul 20.00WIB. Para pendukung acara sudah mulai bersiap diri selepas maghrib. Indonesiaculture.net mendapatkan kesempatan (all acsess) untuk berada ditengah-tengah menyaksikan semua kegiatan Wayang Orang Bharata. Berada dibelakang panggung, lebih dari 60 orang pelakon wayang sedang asyik melukis wajahnya. Berbagai peran tokoh pewayangan mulai terlihat dari goresan warna yang melekat di wajah.

Several senior actors were ahead in their prep sessions while young new performers without hesitancy asked for assistance in tricky parts of the face painting. Creative typical Javanese jokes and gags were hurled around and quickly enlivened the already crowded room. One by one began to stand beside the stage while doing individual warming up exercises, where a Gatotkaca character could be seen memorizing his lines with his masculine body poise held up by a robust horse stance.

Beberapa pelakon senior lebih dulu selesai bersiap diri. Para pelakon baru yang masih sangat muda usia tak segan meminta bantuan untuk membuat goresan-goresan yang dianggap sulit. Sahut-sahutan guyonan yang kreatif khas jawa terlontar begitu saja dengan cepatnya meramaikan suasana ruangan yang memang sudah padat. Satu persatu mereka bersiap diri disamping panggung melakukan pemanasan dengan gayanya masing-masing. Terlihat tokoh Gatotkaca yang terus melafalkan dialog bersamaan bahasa tubuhnya yang gagah, ditopang posisi kuda-kuda tegap.

Rapid gamelan chimes resonated out, signaling the commencement of the event. A Sripi dancer wearing a wooden mask danced charmingly while beside the stage, many of the waiting performers intently observed this opening phase. Laudable as an example was this never ending learning process of every wayang performer behind stage.
Gending gamelan dalam tempo cepat terlantun, pertanda pagelaran wayang orang dimulai. Seorang penari Sripi dengan memakai topeng kayu diwajahnya menari begitu atraktif. Dari samping panggung sebagian besar pelakon lainnya serius memperhatikan aksi panggung pembuka ini. Pantas dijadikan panutan. Proses belajar yang tak pernah berhenti dari masing-masing pelakon wayang orang terlihat dari belakang panggung.

That night, the Bharata Human Wayang show took on a theme ‘Makutoromo,’ a revelation from the gods to Abimanyu in his meditation in deciding the ruler of the Astina kingdom. Story plots staged by Bharata Human Wayang shows are always from India’s version of Mahabrata and Ramayana. The story of Mahabrata was adopted and furthered by Nusantara poets to become Bharatayuda.

Malam itu, pagelaran Wayang Orang Bharata mengambil tema Makutoromo, sebuah wejangan atau wahyu yang diturunkan oleh Dewa kepada Abimanyu dari pertapaannya untuk menentukan  titisan ratu di kerajaan Astina. Lakon cerita dari pewayangan yang selalu dipentaskan oleh Kelompok Wayang Orang Bharata tetap sesuai dengan sumbernya yaitu dari cerita Mahabarata dan Ramayana yang berasal India. Cerita mahabarata, ketika diadopsi ceritanya dikembangkan oleh para pujanga Nusantara menjadi Bharatayuda. 

During that age, Jayabaya assigned Empu Sedah to write and develop the story of Bharatayuda but Empu Sedah died before its completion and the task was continued by Empu Panuluh which conceived the completion of Bharatayuda. Later other poets further developed the story of Bhjaratayuda with other stories still based on the Bharatayuda holy book.

Pada jaman itu, Jayabaya memberikan tugas kepada empu Sedah untuk mengembangkan dan menulis cerita Bhatarayuda, kemudian sebelum selesai, empu sedah meninggal dan dilanjutkan oleh empu Panuluh dan melahirkan cerita Bharatayuda. Kemudian oleh para pujangga lain cerita Bharatayuda dikembangkan cerita-cerita lain yang berdasar pada kitab Bhatarayuda.

Stories in human wayang cannot be aligned in simplicity with modern stories like ketoprak art because accounts in wayang are comprehensive and possess among others, social & political aspects, such as stories of coup d’états, country invasions and other hundreds of further others.

Lakon dalam wayang orang tidak dapat disesuaikan dengan cerita modern seperti kesenian ketoprak, karena cerita dalam pewayangan sudah sangat lengkap. Misalkan dari segi sosial politik, dalam wayang orang terdapat itu cerita tentang kudeta, perebutan wilayah dan jika dibandingkan dengan kondisi sekarang semua sudah termaktup dalam cerita pewayangan. Jenis cerita pewayangan terdapat ratusan jenis cerita.

Included are daily life ethic philosophies such as upon how a child should behave and communicate with elders, relations between a king and his people and other ethical values. Therefore, it is not puzzling to find parents bringing along their children where they usually prefer the balcony for better deciphering of Javanese philosophies. Upon witnessing this form of interaction, it seems that another social cultural preservation has been accomplished by Bharata Human Wayang.

Termasuk falsafah-falsafah tentang tata krama dalam kehidupan sehari-hari, seperti bagaimana seorang anak bersikap dan berbicara dengan orang tua, bagaimana hubungan antara rakyat jelata dengan rajanya dan masih banyak sekali nilai-nilai budi pekerti yang dapat dipelajari dari sebuah cerita pewayangan. Tak heran pada setiap pertunjukan Wayang Orang Bharata, para orang tua membawa serta anak-anaknya. Biasanya mereka memilih balkon atas agar lebih leluasa menterjemahkan filosofi-filosofi jawa. Melihat interaksi tersebut, rasanya satu lagi misi pelestarian sosial budaya tersampaikan oleh kelompok Wayang Orang Bharata.
Bharata Human Wayang group is a foundation of human wayang that still survives the onslaught of the modern age. Currently, only three Human Wayang foundations still survives with locations in Jogjakarta, Solo and Jakarta, the latter as the performance benchmark of this traditional art.

Kelompok Wayang Orang Bharata, adalah sebuah paguyuban kesenian Wayang Orang yang masih bertahan menjadi pejuang budaya dalam gerusan moderenisasi jaman. Saat ini, tinggal tiga paguyuban Wayang Orang yang masih bertahan. Dua diantaranya berada di kota Yogyakarta dan Solo. Wayang Orang Bharata yang berbasis di Jakarta sebagai sentra negara Indonesia, menjadi tolak ukur keberlangsungan tradisi kesenian Wayang Orang

According to Marsam Mulyo Atmojo, Heaad of the Bharata Human Wayang Foundation, the establishment of Bharata Human Wayang Art Group cannot be estranged from Panca Murti Human Wayang Art Group that had been around since 1963 at Realto Theatre, which change name to Bharata Human Wayang Building at Senen, Central Jakarta.

Menurut Marsam Mulyo Atmojo, Pimpinan Paguyuban Wayang Orang Bharata, Berdirinya Kelompok Kesenian Wayang Orang Bharata tak dapat dilepaskan dari keberadaan kelompok Kesenian wayang orang Panca Murti yang telah ada sejak tahun 1963 dan berpusat di gedung realto theather, kawasan senen, Jakarta Pusat-yang saat ini telah berubah nama menjadi gedung Wayang Orang Bharata.

Though experiencing separation in 1972, the Bharata Human Wayang Art Group consistently carried out regular performances until 1999, where from 2000 to 2004 there were no staged shows due to ongoing building renovations.

Meski sempat pecah di tahun 1972,  kelompok kesenian Wayang Orang Bharata sejak pertama kali didirikan sampai dengan tahun 1999 konsisten menggelar pertunjukan wayang orang. Namun sejak tahun 2000 hingga 2004, Bharata mengalami vakum dari kegiatan pementasan wayang orang di gedung Bharata akibat dilakukannya renovasi gedung.

After completion of the building renovation, shows were regularly done every Saturday night. It is not difficult to find the Bharata building owing to its strategic location amongst stores beside a Senen Market Bus Station in Central Jakarta. By its management, a human wayang preservation activity for the youth has been set up where the majority is children of Bharata senior performers. At the moment, the total number of people involved in this cultural art is 120 people.

Setelah renovasi gedung selesai dan Bharata kembali melakuan pertunjukan, rutin satu kali dalam seminggu dihari sabtu malam. Tak sulit menemukan gedung wayang orang Bharata lokasinya sangat strategis berada dideretan toko-toko disamping terminal besar bis PASAR SENEN Jakarta Pusat. Oleh pengelola dikembangkan juga sebuah kegiatan pelestarian wayang orang-dengan mendidik para anak muda yang diharapkan akan meneruskan dan melestarikan budaya ini. Sebagian besar anak muda ini adalah anak-anak dari para pemain senior Bharata. Sampai saat ini jumlah seluruh anggota yang terlibat dalam kegitan Wayang Orang Bharata 120 orang.

As a valiant attempt to preserve the culture and awareness of human wayang art, often times, Bharata Human Wayang performers had to draw money from their own pockets to cover the costs of performances, practice sessions, costume rents, transportations, decorations and others, reaching millions of rupiah.

Sebagai sebuah upaya pelestarian sebuah budaya dan kesadaran yang sangat tinggi akan arti seni wayang orang. Sering kali para anggota Wayang Orang Bharata harus mengeluarkan biaya dari kantong mereka sendiri untuk membiayai sebuah pementasan termasuk dalam proses latihannya dan tidak sedikit biaya yang mereka keluarkan. Biaya yang dikeluarkan hingga jutaan rupiah untuk menyewa kostum, transportasi, dekorasi dan sebagainya.

Amidst the difficulty in preserving human wayang culture, hope endures due to the continual interest shown by foreigners coming from abroad, searching for this human wayang art to be performed in their countries. But Marsam regrets that due to unfavorable practices, often times, they were not brought directly to Bharata Human Wayang. Culture department officials never brought these foreigners to the Bharata theatre, instead shows were conducted elsewhere with only a few Bharata performers involved.

Ditengah beratnya upaya melestarikan budaya wayang orang, tetap terpercik harapan karena sampai saat inipun masih banyak pihak luar negeri yang datang ke Indonesia  mencari kelompok kesenian wayang orang untuk diundang dan melakukan pertunjukan di negaranya. Namun Marsam menyesalkan, karena adanya kecurangan dari pihak terkait, sering kali mereka tidak datang langsung ke Wayang Orang Bharata. Oleh orang-orang dinas kebudayaan para tamu luar negeri itu tidak pernah dibawa dan ditunjukkan keberadaan kelompok wayang orang bharata, tetapi mereka terima sendiri undangan tersebut dan hanya melibatkan beberapa orang bharata saja. 

Appreciation is needed upon the fact that cultural preservation is a high cost activity where countries like Japan provide guaranteed governmental lifelong support to kabuki performers, securing their undivided focus upon kabuki art performance excellence. In Indonesia, though government concern exists, it appears half hearted and art performers have to struggle to survive living, having yet to provide livelihood to their immediate families aside themselves.

Harus disadari bahwa sebuah pelestarian budaya adalah sebuah pekerjaan dengan biaya mahal. Sebagai contoh kesenian kabuki di jepang, di sana pelaku kesenian kabuki dijamin kehidupannya oleh negara, sehingga mereka dapat fokus menampilkan kesenian kabuki dan baik. Berbeda dengan di Indonesia, meski sudah ada perhatian dari pemerintah tapi tetap saja masih setengah hati, para pelaku seni tetap harus berjuang untuk bertahan hidup dan menghidupi diri sendiri dan keluarganya.
Distinguishing the great potential of human wayang art as an Indonesia’s trademark traditional theatre on a global scale, necessitates all elements of support upon its preservation. Come and witness its show, where last performance a while ago was attended by expatriates filling the double front VIP rows. These particular expatriates happen to regularly attend these performances and at the shows end, several represented the others and came over to the backstage and exclaimed in Indonesian “teramat istimewa .. teramat istimewa” which meant ‘extraordinary.’

Melihat besarnya potensi kesenian wayang orang sebagai citra teatrikal tradisional Indonesia berskala dunia, semua elemen harus membantu melestarikannya. Datang dan nikmati pertunjukannya. Seperti saat pagelaran beberapa waktu lalu, dua baris terdepan kelas VIP dipenuhi expatriates yang mempunyai agenda rutin menyaksikan pagelaran Wayang Orang Bharata. Ketika pertunjukkan berakhir beberapa orang perwakilan dari mereka datang menghampiri para pelakon dibelakang panggung dan berujar dalam bahasa Indonesia “ teramat istimewa..teramat istimewa,”

No comments:

Post a Comment