PERHIASAN GELAS
The Glass Menagerie" Karya Tennessee Williams
Rumah Di Ujung Kenangan
Ada rumah kecil di tepi kota, berdiri di antara hujan dan waktu. Langitnya kelabu seperti luka yang tak sempat sembuh, dan di jendela, cahaya sore menembus debu, menyentuh figur-figur kecil dari kaca—perhiasan rapuh yang berkilau seperti mimpi yang menolak padam.
Di dalamnya, hidup tiga jiwa yang tidak sepakat dengan kenyataan: Amanda, sang ibu—terlalu sering berbicara dengan masa lalu, Liswati, putrinya—terlalu lembut untuk hidup di dunia yang keras,
dan Tom, sang anak laki-laki—terlalu lapar akan kebebasan, namun terikat oleh cinta dan rasa bersalah.
Rumah itu tidak sekadar bangunan, tapi panggung bagi kenangan yang menolak usang.
Amanda – Sang Ibu dalam Cermin Retak*
Amanda duduk di kursi rotan, mengenang gaun putih masa muda dan dansa di veranda, ketika ia masih dipercaya dunia, dan lelaki-lelaki dari selatan datang membawa bunga melati.
Kini, setiap pagi adalah pengulangan: “Liswati, bersiaplah! Jangan hanya bersembunyi di balik gelasmu!” Suaranya seperti lonceng gereja tua—
bergetar di udara, tapi kehilangan gema.
Ia bicara tentang masa lalu seperti menjual harapan,
karena hanya itu yang masih laku di hatinya. Namun setiap kali ia menoleh ke arah pintu, yang tampak hanyalah bayangan lelaki yang tak pernah pulang—
suaminya, yang meninggalkan foto dan sebait doa yang basi.
“Semua lelaki sama,” katanya, “datang membawa janji, pergi membawa sunyi.”
*Liswati – Gadis Dari Kaca*
Liswati duduk di lantai ruang tamu, di antara gemericik halus mainan gelasnya. Seekor unicorn mungil, seekor kuda laut, seekor burung berparuh tajam—semuanya bening, semuanya rapuh, seperti dirinya yang berhenti tumbuh bersama waktu.
Ia bicara pada mereka dengan suara pelan, seolah kaca itu bisa mendengar. “Dunia di luar sini keras,” bisiknya, “tapi di sini... di sini semuanya bersinar dan tidak pernah berubah.”
Tangannya gemetar setiap kali menyentuh permukaan yang dingin itu. Ia tak berani menatap cermin, karena di sana ia melihat gadis yang takut pada hidup—takut pada tatapan orang, takut pada cinta, takut menjadi pecahan dari sesuatu yang dulu utuh.
Setiap kali ibunya menyebut nama lelaki, Liswati menunduk, karena setiap pertemuan adalah ancaman bagi kerajaan kecil dari kaca yang ia rawat dengan doa.
*Tom – Sang Narator Luka*
Tom berdiri di beranda, menatap kota dari balik kabut asap pabrik. Ia menulis puisi di sela kantuk dan putus asa, puisi tentang laut, bintang, dan pelarian.
Ia ingin bebas, tapi setiap langkah menjauh dari rumah adalah dosa yang berdenyut di dada. Amanda menatapnya seperti menatap jangkar yang menahan kapal agar tak karam, sementara Liswati memandangnya seperti menatap satu-satunya matahari di dunia kaca.
“Jika aku pergi, siapa yang akan menyalakan lampu malam Liswati?” gumamnya, “Jika aku tinggal, siapa yang akan menyalakan api dalam diriku?”
Ia terbelah—antara kasih dan kebencian, antara kewajiban dan keinginan.
*Datangnya Harapan*
Suatu malam, Amanda mengatur meja makan seperti altar pengharapan. Taplaknya putih, piring-piringnya mengilap, dan Liswati memakai gaun biru muda—warna langit yang belum tercemar.
“Seorang tamu akan datang,” kata Amanda, “teman kerja Tom. Lelaki baik. Mungkin... harapan baru.”
Liswati menunduk, pipinya memerah, sementara di dalam dadanya, kaca-kaca kecil bergemerincing halus.
Lelaki itu datang dengan senyum lembut, membawa percakapan yang ringan, dan sejenak Liswati berani menatap dunia. Ia bahkan memperlihatkan unicorn kesayangannya—dan ketika tanduknya patah karena tidak sengaja terjatuh, ia hanya tersenyum. “Mungkin... sekarang dia seperti yang lain,” bisiknya,
“tidak lagi sendirian.”
Namun malam menua, dan harapan itu layu. Lelaki itu telah bertunangan, dan segala kilau kembali menjadi debu.
Liswati menatap unicorn tanpa tanduk itu lama-lama, seolah menatap dirinya sendiri yang akhirnya mengerti bahwa bahkan keindahan pun bisa pecah tanpa suara.
*Kepergian*
Tom akhirnya pergi. Ia tak tahan lagi dengan suara masa lalu yang terus bergaung, tidak tahan dengan ibunya yang menagih janji, tidak tahan dengan dirinya sendiri yang hidup setengah.
Ia meninggalkan rumah itu di malam hujan—lampu padam, kaca bergetar, dan di balik tirai, Liswati berdiri diam, hanya matanya yang berbicara: “Jangan lupa aku.”
Bertahun-tahun kemudian, Tom masih menulis tentang kaca—tentang unicorn patah, tentang adik yang tak sempat hidup sepenuhnya. Ia berkelana dari kota ke kota, tapi setiap kali melihat etalase toko perhiasan, ia berhenti sejenak, karena di sana, di balik cahaya lampu, ia melihat bayangan Liswati tersenyum di antara kilau benda-benda rapuh.
*Kilau Yang Tidak Pernah Padam*
Mungkin dunia ini memang dibuat dari kaca—indah tapi mudah retak, menyilaukan tapi dingin, merekam cahaya tapi melukai yang memegangnya terlalu erat.
Liswati kini hanya tinggal dalam ingatan, Amanda dalam gema doa yang tak selesai, dan Tom dalam penyesalan yang tidak punya arah pulang.
Namun di sudut waktu yang lembut, perhiasan gelas itu tetap bersinar, seolah berkata: “Yang rapuh pun punya cara untuk abadi.”
Suara langkah menjauh. Sebuah denting kecil terdengar—mungkin dari gelas yang jatuh, atau dari hati yang akhirnya pecah. (Haremen)
No comments:
Post a Comment