Text: Hari Setianto/ Raphael Mamora
Photo: Hari Setianto
In pace with the intricate dance,
enthralled by Arjuna and Dewi Sukesi’s fluid charm in protracted
movements attended by Javanese gamelan music, in a rapid moment
transforms into fast throbbing battle episodes amongst giants, thus was a
fraction of Mahabrata and Ramayana’s epic saga portrayed dynamically by
a Bharata Human Wayang theatre. Dialogues, theatrical character roles,
costumes, face painting and artistic traditional theatres makes this
worthy of a world class theatrical arena.
Selaras gerak tari yang kompleks, sejenak terpana keluwesan sang
Arjuna dan Dewi Sukesi dalam tempo tari yang sangat lamban diiringi
gending gamelan jawa. Sesaat kemudian, berubah ke tempo tinggi dan
adegan menjadi arena pertempuran para buto (raksasa). Sepenggal alur
adegan yang dinamis dari pentas Wayang Orang Bharata melakonkan kembali
kekuatan cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana. Dialog dan peran
berkarakter ala teater. busana dan lukisan diwajah serta tata panggung
tradisional yang artistik. Menjadikan pentas Wayang Orang Bharata
sebagai sebuah pentas teatrikal kelas dunia.
The performance was scheduled to start
at 8.00 PM, local time. Show performers were beginning to prep up after
sunset and with Indonesiaculture.net given full access to scenes behind
the stage, more than 60 wayang performers began painting their faces,
giving life to legendary wayang characters that would later gild the
theatrical stage.
Pagelaran baru akan dimulai sekitar pukul 20.00WIB. Para
pendukung acara sudah mulai bersiap diri selepas maghrib.
Indonesiaculture.net mendapatkan kesempatan (all acsess) untuk berada
ditengah-tengah menyaksikan semua kegiatan Wayang Orang Bharata. Berada
dibelakang panggung, lebih dari 60 orang pelakon wayang sedang asyik
melukis wajahnya. Berbagai peran tokoh pewayangan mulai terlihat dari
goresan warna yang melekat di wajah.
Several senior actors were ahead in
their prep sessions while young new performers without hesitancy asked
for assistance in tricky parts of the face painting. Creative typical
Javanese jokes and gags were hurled around and quickly enlivened the
already crowded room. One by one began to stand beside the stage while
doing individual warming up exercises, where a Gatotkaca character could
be seen memorizing his lines with his masculine body poise held up by a
robust horse stance.
Beberapa pelakon senior lebih dulu selesai bersiap diri. Para
pelakon baru yang masih sangat muda usia tak segan meminta bantuan untuk
membuat goresan-goresan yang dianggap sulit. Sahut-sahutan guyonan yang
kreatif khas jawa terlontar begitu saja dengan cepatnya meramaikan
suasana ruangan yang memang sudah padat. Satu persatu mereka bersiap
diri disamping panggung melakukan pemanasan dengan gayanya
masing-masing. Terlihat tokoh Gatotkaca yang terus melafalkan dialog
bersamaan bahasa tubuhnya yang gagah, ditopang posisi kuda-kuda tegap.
Rapid gamelan chimes resonated out,
signaling the commencement of the event. A Sripi dancer wearing a wooden
mask danced charmingly while beside the stage, many of the waiting
performers intently observed this opening phase. Laudable as an example
was this never ending learning process of every wayang performer behind
stage.
Gending gamelan dalam tempo cepat terlantun, pertanda pagelaran
wayang orang dimulai. Seorang penari Sripi dengan memakai topeng kayu
diwajahnya menari begitu atraktif. Dari samping panggung sebagian besar
pelakon lainnya serius memperhatikan aksi panggung pembuka ini. Pantas
dijadikan panutan. Proses belajar yang tak pernah berhenti dari
masing-masing pelakon wayang orang terlihat dari belakang panggung.
That night, the Bharata Human Wayang
show took on a theme ‘Makutoromo,’ a revelation from the gods to
Abimanyu in his meditation in deciding the ruler of the Astina kingdom.
Story plots staged by Bharata Human Wayang shows are always from India’s
version of Mahabrata and Ramayana. The story of Mahabrata was adopted
and furthered by Nusantara poets to become Bharatayuda.
Malam itu, pagelaran Wayang Orang Bharata mengambil tema
Makutoromo, sebuah wejangan atau wahyu yang diturunkan oleh Dewa kepada
Abimanyu dari pertapaannya untuk menentukan titisan ratu di kerajaan
Astina. Lakon cerita dari pewayangan yang selalu dipentaskan oleh
Kelompok Wayang Orang Bharata tetap sesuai dengan sumbernya yaitu dari
cerita Mahabarata dan Ramayana yang berasal India. Cerita mahabarata,
ketika diadopsi ceritanya dikembangkan oleh para pujanga Nusantara
menjadi Bharatayuda.
During that age, Jayabaya assigned Empu
Sedah to write and develop the story of Bharatayuda but Empu Sedah died
before its completion and the task was continued by Empu Panuluh which
conceived the completion of Bharatayuda. Later other poets further
developed the story of Bhjaratayuda with other stories still based on
the Bharatayuda holy book.
Pada jaman itu, Jayabaya memberikan tugas kepada empu Sedah untuk
mengembangkan dan menulis cerita Bhatarayuda, kemudian sebelum selesai,
empu sedah meninggal dan dilanjutkan oleh empu Panuluh dan melahirkan
cerita Bharatayuda. Kemudian oleh para pujangga lain cerita Bharatayuda
dikembangkan cerita-cerita lain yang berdasar pada kitab Bhatarayuda.
Stories in human wayang cannot be
aligned in simplicity with modern stories like ketoprak art because
accounts in wayang are comprehensive and possess among others, social
& political aspects, such as stories of coup d’états, country
invasions and other hundreds of further others.
Lakon dalam wayang orang tidak dapat disesuaikan dengan cerita
modern seperti kesenian ketoprak, karena cerita dalam pewayangan sudah
sangat lengkap. Misalkan dari segi sosial politik, dalam wayang orang
terdapat itu cerita tentang kudeta, perebutan wilayah dan jika
dibandingkan dengan kondisi sekarang semua sudah termaktup dalam cerita
pewayangan. Jenis cerita pewayangan terdapat ratusan jenis cerita.
Included are daily life ethic
philosophies such as upon how a child should behave and communicate with
elders, relations between a king and his people and other ethical
values. Therefore, it is not puzzling to find parents bringing along
their children where they usually prefer the balcony for better
deciphering of Javanese philosophies. Upon witnessing this form of
interaction, it seems that another social cultural preservation has been
accomplished by Bharata Human Wayang.
Termasuk falsafah-falsafah tentang tata krama dalam kehidupan
sehari-hari, seperti bagaimana seorang anak bersikap dan berbicara
dengan orang tua, bagaimana hubungan antara rakyat jelata dengan rajanya
dan masih banyak sekali nilai-nilai budi pekerti yang dapat dipelajari
dari sebuah cerita pewayangan. Tak heran pada setiap pertunjukan Wayang
Orang Bharata, para orang tua membawa serta anak-anaknya. Biasanya
mereka memilih balkon atas agar lebih leluasa menterjemahkan
filosofi-filosofi jawa. Melihat interaksi tersebut, rasanya satu lagi
misi pelestarian sosial budaya tersampaikan oleh kelompok Wayang Orang
Bharata.
Bharata Human Wayang group is a
foundation of human wayang that still survives the onslaught of the
modern age. Currently, only three Human Wayang foundations still
survives with locations in Jogjakarta, Solo and Jakarta, the latter as
the performance benchmark of this traditional art.
Kelompok Wayang Orang Bharata, adalah sebuah paguyuban kesenian
Wayang Orang yang masih bertahan menjadi pejuang budaya dalam gerusan
moderenisasi jaman. Saat ini, tinggal tiga paguyuban Wayang Orang yang
masih bertahan. Dua diantaranya berada di kota Yogyakarta dan Solo.
Wayang Orang Bharata yang berbasis di Jakarta sebagai sentra negara
Indonesia, menjadi tolak ukur keberlangsungan tradisi kesenian Wayang
Orang
According to Marsam Mulyo Atmojo, Heaad
of the Bharata Human Wayang Foundation, the establishment of Bharata
Human Wayang Art Group cannot be estranged from Panca Murti Human Wayang
Art Group that had been around since 1963 at Realto Theatre, which
change name to Bharata Human Wayang Building at Senen, Central Jakarta.
Menurut Marsam Mulyo Atmojo, Pimpinan Paguyuban Wayang Orang
Bharata, Berdirinya Kelompok Kesenian Wayang Orang Bharata tak dapat
dilepaskan dari keberadaan kelompok Kesenian wayang orang Panca Murti
yang telah ada sejak tahun 1963 dan berpusat di gedung realto theather,
kawasan senen, Jakarta Pusat-yang saat ini telah berubah nama menjadi
gedung Wayang Orang Bharata.
Though experiencing separation in 1972,
the Bharata Human Wayang Art Group consistently carried out regular
performances until 1999, where from 2000 to 2004 there were no staged
shows due to ongoing building renovations.
Meski sempat pecah di tahun 1972, kelompok kesenian Wayang Orang
Bharata sejak pertama kali didirikan sampai dengan tahun 1999 konsisten
menggelar pertunjukan wayang orang. Namun sejak tahun 2000 hingga 2004,
Bharata mengalami vakum dari kegiatan pementasan wayang orang di gedung
Bharata akibat dilakukannya renovasi gedung.
After completion of the building
renovation, shows were regularly done every Saturday night. It is not
difficult to find the Bharata building owing to its strategic location
amongst stores beside a Senen Market Bus Station in Central Jakarta. By
its management, a human wayang preservation activity for the youth has
been set up where the majority is children of Bharata senior performers.
At the moment, the total number of people involved in this cultural art
is 120 people.
Setelah renovasi gedung selesai dan Bharata kembali melakuan
pertunjukan, rutin satu kali dalam seminggu dihari sabtu malam. Tak
sulit menemukan gedung wayang orang Bharata lokasinya sangat strategis
berada dideretan toko-toko disamping terminal besar bis PASAR SENEN
Jakarta Pusat. Oleh pengelola dikembangkan juga sebuah kegiatan
pelestarian wayang orang-dengan mendidik para anak muda yang diharapkan
akan meneruskan dan melestarikan budaya ini. Sebagian besar anak muda
ini adalah anak-anak dari para pemain senior Bharata. Sampai saat ini
jumlah seluruh anggota yang terlibat dalam kegitan Wayang Orang Bharata
120 orang.
As a valiant attempt to preserve the
culture and awareness of human wayang art, often times, Bharata Human
Wayang performers had to draw money from their own pockets to cover the
costs of performances, practice sessions, costume rents,
transportations, decorations and others, reaching millions of rupiah.
Sebagai sebuah upaya pelestarian sebuah budaya dan kesadaran yang
sangat tinggi akan arti seni wayang orang. Sering kali para anggota
Wayang Orang Bharata harus mengeluarkan biaya dari kantong mereka
sendiri untuk membiayai sebuah pementasan termasuk dalam proses
latihannya dan tidak sedikit biaya yang mereka keluarkan. Biaya yang
dikeluarkan hingga jutaan rupiah untuk menyewa kostum, transportasi,
dekorasi dan sebagainya.
Amidst the difficulty in preserving
human wayang culture, hope endures due to the continual interest shown
by foreigners coming from abroad, searching for this human wayang art to
be performed in their countries. But Marsam regrets that due to
unfavorable practices, often times, they were not brought directly to
Bharata Human Wayang. Culture department officials never brought these
foreigners to the Bharata theatre, instead shows were conducted
elsewhere with only a few Bharata performers involved.
Ditengah beratnya upaya melestarikan budaya wayang orang, tetap
terpercik harapan karena sampai saat inipun masih banyak pihak luar
negeri yang datang ke Indonesia mencari kelompok kesenian wayang orang
untuk diundang dan melakukan pertunjukan di negaranya. Namun Marsam
menyesalkan, karena adanya kecurangan dari pihak terkait, sering kali
mereka tidak datang langsung ke Wayang Orang Bharata. Oleh orang-orang
dinas kebudayaan para tamu luar negeri itu tidak pernah dibawa dan
ditunjukkan keberadaan kelompok wayang orang bharata, tetapi mereka
terima sendiri undangan tersebut dan hanya melibatkan beberapa orang
bharata saja.
Appreciation is needed upon the fact
that cultural preservation is a high cost activity where countries like
Japan provide guaranteed governmental lifelong support to kabuki
performers, securing their undivided focus upon kabuki art performance
excellence. In Indonesia, though government concern exists, it appears
half hearted and art performers have to struggle to survive living,
having yet to provide livelihood to their immediate families aside
themselves.
Harus disadari bahwa sebuah pelestarian budaya adalah sebuah
pekerjaan dengan biaya mahal. Sebagai contoh kesenian kabuki di jepang,
di sana pelaku kesenian kabuki dijamin kehidupannya oleh negara,
sehingga mereka dapat fokus menampilkan kesenian kabuki dan baik.
Berbeda dengan di Indonesia, meski sudah ada perhatian dari pemerintah
tapi tetap saja masih setengah hati, para pelaku seni tetap harus
berjuang untuk bertahan hidup dan menghidupi diri sendiri dan
keluarganya.
Distinguishing the great potential of
human wayang art as an Indonesia’s trademark traditional theatre on a
global scale, necessitates all elements of support upon its
preservation. Come and witness its show, where last performance a while
ago was attended by expatriates filling the double front VIP rows. These
particular expatriates happen to regularly attend these performances
and at the shows end, several represented the others and came over to
the backstage and exclaimed in Indonesian “teramat istimewa .. teramat
istimewa” which meant ‘extraordinary.’
Melihat besarnya potensi kesenian wayang orang sebagai citra
teatrikal tradisional Indonesia berskala dunia, semua elemen harus
membantu melestarikannya. Datang dan nikmati pertunjukannya. Seperti
saat pagelaran beberapa waktu lalu, dua baris terdepan kelas VIP
dipenuhi expatriates yang mempunyai agenda rutin menyaksikan pagelaran
Wayang Orang Bharata. Ketika pertunjukkan berakhir beberapa orang
perwakilan dari mereka datang menghampiri para pelakon dibelakang
panggung dan berujar dalam bahasa Indonesia “ teramat istimewa..teramat
istimewa,”
No comments:
Post a Comment